ft

Jumat, 15 Oktober 2010

Hak Minoritas di Indonesia

Pertama, repertoar yang disampaikan oleh Fransesco Capotorti yang berusaha menjelaskan bahwa minoritas itu sebagai:1
“A group numerically inferior to the rest of population of a State, in a non-dominant position, whose members – being nationals of the State – possess ethnic, religious and linguistic characteristics differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly, a sense of solidarity, directed towards preserving their culture, traditions, religion and language.”
Study on the Rights of Persons belonging to Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.
UN Document E/CN.4/Sub.2/384/Add.1-7 (1997)
Kedua, definisi yang diajukan oleh Jules Deschenes:
“A group of citizens of a State, constituting a numerical minority and in a non-dominant position in that State, endowed with ethnic, religious and linguistic characteristics which differ from those of the majority of the population, having a sense of solidarity with one another, motivated, if only implicitly, by a collective will to survive and whose aim is ti achieve equality with the majority in fact and in law.”
Proposal Concerning a Definition of the Term ‘Minority’
UN Document E/CN.4/Sub.2/1985/31 (1985)
Menilik kedua terjemahan di atas pun masih akan turut menyisakan pertanyaan yang cukup mendasar. Hikmat Budiman2 mencoba menyisir, paling tidak terdapat empat hal yang menyisakan persoalan yang cukup menggelisahkan. Pertama, batasan tentang minoritas sangat tergantung pada jumlah numeriknya. Jumlah ini membedakan atau secara cacah jiwa berada di bawah atau lebih sedikit dari jumlah penduduk yang mayoritas. Kedua, minoritas mengandaikan posisinya berada pada posisi yang tidak dominan, sementara term “dominan” itu sendiri tidak didefinisikan secara lebih spesifik. Dengan pengertian lain, apakah “dominan” itu turut mengandaikan posisi kekuasaan atau juga posisi yang berdasar dari segi jumlah tadi. Ketiga, menjadi minoritas berarti terdapatnya perbedaan yang cukup spesifik dari segi etnik, agama, dan bahasa. Dalam konteks Indonesia, spesifikasi tiga sektor ini pun rumit untuk disematkan ke dalam realitas beberapa komunitas di Indonesia yang masing-masing memiliki spesifikasi yang berbeda dengan kelompok mayoritas yang terdiri dari jenis etnik dan bahasa yang sama. Sebagai contoh, kelompok kepercayaan sapto dharmo yang terdapat di daerah Pati, Jawa Tengah dan sekitarnya merupakan kelompok minoritas dari segi jumlah (saat ini jumlah mereka berkisar 6.000 orang), tetapi dari segi etnik, kelompok ini termasuk bagian dari etnis Jawa sebagai salah satu etnis mayoritas di Indonesia. Keempat, menjadi minoritas mengharuskan orang atau kelompok untuk memiliki solidaritas terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa serta membagi keinginan untuk melestarikan kultur, tradisi, agama, dan bahasa mereka dan kepentingan untuk meraih persamaan hukum di hadapan populasi yang lain. Jika demikian, di manakah kemampuan orang atau kelompok untuk melakukan negosiasi kreatif terhadap kultur, tradisi, agama, dan bahasa yang mereka miliki?
Kegelisahan yang dimunculkan oleh Hikmat Budiman di atas memang bukan tanpa alasan. Konteks kehidupan masyarakat di Indonesia berkaitan dengan kultur, tradisi, agama, bahasa, dan sebagainya merupakan rangkaian yang memiliki kompleksitasnya masing-masing. Meskipun pasal 1 ICCPR (International Covenant On Civil and Political Rights) menjelaskan adanya jaminan bagi tiap-tiap penduduk dan individu untuk menentukan nasib sendiri dalam usaha mereka mendapatkan status politik, pengembangan ekonomi dan budaya, tetapi pada sisi lain implikasi dari kategorisasi/definisi minoritas seperti yang dikemukakan oleh Dokumen PBB di atas justru bisa dimanfaatkan oleh Negara di masing-masing nasionalitasnya untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya minoritas menjadi komoditas ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan bagi kelompok minoritas itu sendiri.
Komunitas wetu telu di Lombok-NTB, komunitas Tana Toa Kajang Sulawesi Selatan, komunitas To Wana Sulawesi Tengah, dan masih banyak lagi komunitas yang lain telah keburu diposisikan oleh pemerintah Indonesia sebagai kelompok komunitas yang – karena berdasarkan ciri-ciri seperti yang telah dikemukakan di atas – perlu dibina, dikembangkan, dan dilestarikan. Proyek pengembangan dan pembinaan ini hampir selalu beriring dengan penganjuran agar kelompok masyarakat tersebut juga melestarikan dan mempertahankan asset kulturnya agar bisa menjadi bagian dari proyek pariwisata yang dicanangkan oleh pemerintah.
Di sinilah persoalan itu seringkali muncul. Ketika sebuah kelompok/komunitas hanya merasa perlu dipertahankan karena mereka memiliki asset tertentu, maka keberadaan mereka hanya menjadi penting sepanjang sumber daya mereka mampu menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pemerintah daerahnya. Dari sisi ini, keberadaan komunitas berikut “eksotisme” mereka akan selalu menjadi tontonan dan membuat mereka akan semakin berada pada posisi sebagai “manusia yang berbeda” dari kelompok manusia yang lain.
Di sisi lain, kecenderungan mutakhir beberapa pemerintah daerah yang ingin memberlakukan Perda-perda Syariat Islam juga akan berimbas pada komunitas-komunitas tersebut. Komunitas Tana Toa Kajang yang mengaku sebagai memiliki Islam menurut versi mereka, lambat laun akan menjadi sasaran penerapan perda SI tersebut, karena menganggap bahwa keislaman komunitas tana toa Kajang telah menyimpang dari SI yang “sebenarnya.” Hal ini terbukti dimana proyek pendidikan dengan keharusan baca tulis AlQur’an yang dicanangkan Pemda Sulawesi Selatan sudah mulai merambah di kehidupan komunitas tana toa Kajang tersebut. Selain komunitas tana toa Kajang, komunitas wetu telu di Lombok pun bisa mengalami hal yang sama ketika pencanangan Perda SI itu mulai diterapkan.
Kebijakan kebudayaan pemerintah terhadap komunitas-komunitas tersebut merupakan cerminan dari kebingungan menyikapi keberagaman kultur yang ada di Indonesia. kebingungan ini juga tercermin ketika terdapat kelompok-kelompok tertentu, memiliki jarak geografis yang jauh, dan memiliki keciri-khas-an hidup, maka kelompok ini disebut sebagai “suku terasing.” Batasan “terasing” yang diletakkan dalam konteks eksistensi dan relasi sosial mereka terhadap kelompok masyarakat yang lain pun tidak bisa diterima dengan dalih konseptual seperti apa pun. Jika komunitas Badui atau komunitas Kubu dimasukkan dalam kriteria “terasing”, maka sebutan ini tidak lebih dari anggapan orang luar, karena pada realitasnya yang sangat konkret, baik Kubu maupun Badui tidak pernah merasa problematik dengan eksistensi dan relasi sosial yang mereka bentuk.
Mungkin, karena kesadaran akan kelemahan konseptual terminologi “suku terasing” itulah pemerintah akhir-akhir ini lebih suka menggunakan istilah Komunitas Adat terpencil (KAT), istilah yang sebenarnya tidak kalah problematiknya seperti istilah “suku terasing.” Salah satu komunitas yang dikategori dengan istilah ini adalah komunitas sedulur sikep di Pati, Blora, dan sekitarnya. Anggapan sebagai komunitas terpencil (baik secara geografis maupun kultural) ini membuat komunitas sedulur sikep selalu menjadi bagian dari proyek pembinaan oleh pemerintah. Implikasinya adalah, komunitas seperti ini bukan hanya jauh secara fisik tetapi juga menjadi identik dengan keterbelakangan, tidak terdidik, dan tidak terlibat dalam atau mendapatkan pelayanan yang baik secara ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam hal ini, agak sulit sebenarnya menempatkan berbagai kebiasaan hidup dalam sebuah kelompok minoritas tertentu jika disesuaikan dengan tuntutan pemenuhan hak asasi manusia seperti yang dianjurkan oleh kovenan. Dalam persoalan pendidikan misalnya, apakah Negara bisa dikenakan sanksi karena memaksakan kehendak wajib belajar bagi komunitas sedulur sikep yang tidak memperkenankan warga komunitasnya untuk masuk ke dunia pendidikan formal? Pada sisi ini, terdapat dua hal penting yang perlu didiskusikan; pertama, jika para orang tua di komunitas sedulur sikep melarang anak-anak mereka bersekolah, lalu apakah para orang tua itu dianggap melanggar HAM sehingga harus dikenai sanksi? Atau justru Negara yang harus dikenai sanksi karena melanggar hak asasi sedulur sikep yang tidak mau masuk sekolah formal? Kedua, jika terdapat bentuk pendidikan alternatif yang dikelola sendiri oleh komunitas sedulur sikep, apakah bentuk pendidikan alternatif itu akan diakui oleh Negara?
Sementara di sisi lain, persoalan pun bisa dimunculkan ketika Negara tidak memberikan pemenuhan akses pendidikan bagi masyarakat miskin. Melihat kenyataan-kenyataan seperti ini, paradoks akan sering muncul dan tidak mudah untuk semata-mata dicarikan solusinya melalui pendekatan legal formal. Apalagi, dalam konteks Indonesia saat ini, pemerintah lebih sering berada dijalur pemberian sanksi bagi pelanggar HAM, dan bukan berada pada jalur perlindungan HAM. Konkretnya, pemerintah akan menangkap para pencuri dan bukan memberikan fasilitas sosial berupa kesejahteraan bagi penduduknya.
Mungkin masih terlalu dini untuk menilai bahwa pasal 27 ICCPR tentang hak minoritas bisa menjadi peluang bagi terakuinya hak-hak kelompok minoritas selama berbagai instrumen hukum nasional Indonesia (termasuk di dalamnya kebijakan kebudayaan) belum mampu diarahkan pada komitmen untuk memanusiakan mereka sesuai dengan sudut pandang dan kebutuhan yang diinginkan oleh komunitas minoritas tersebut.
Beberapa Persoalan Penting seputar Kelompok Minoritas
Persoalan yang sering muncul yang berhubungan dengan interaksi sosial di antara kelompok masyarakat minoritas adalah:
1. Adanya politik pencitraan yang disematkan kepada komunitas tertentu. Politik pencitraan berupa stigma dan stereotip ini merupakan awal dari munculnya hubungan sosial yang diskriminatif. Seperti pencitraan negatif terhadap komunitas wetu telu, tana toa kajang, sedulur sikep, badui, dsb sebagai kelompok yang “berbeda”, “terbelakang”, “bodoh”, dan sebagainya.
2. Dukungan pencitraan dan diskriminasi melalui instrumen hukum/kebijakan, seperti kebijakan mengenai KAT, cagar alam, dan pariwisata. Seperti kebijakan tentang Cagar Alam Morowali Sulawesi Tengah yang lebih menekankan perlindungan Negara terhadap potensi alamnya, bukan dalam hal perlindungan terhadap komunitas (sebagai individu maupun kelompok) yang hidup di dalamnya.
3. Implikasi dari poin kedua seringkali berbentuk perlakuan masyarakat mayoritas terhadap kelompok minoritas untuk mengikuti tata cara kehidupan kelompok mayoritas.
4. Pemisahan kategori agama dengan kehidupan komunitas minoritas tersebut. Misalnya, ketika terjadi penghinaan terhadap orang sedulur sikep, maka itu tidak dianggap sebagai penghinaan terhadap tata cara hidup mereka secara keseluruhan. Padahal, menyebut nama sedulur sikep, itu berarti termasuk di dalamnya kepercayaan dan tata-cara kehidupan mereka secara keseluruhan.
5. Batasan tentang “agama resmi” dan “tidak resmi” yang dicanangkan oleh pemerintah juga berakibat pada terlanggarnya hak asasi manusia, khususnya komunitas-komunitas minoritas dimana praktik dan bentyuk keagamaan mereka tidak diakui oleh Negara. Kenyataan ini melanggar ketentuan kovenan, di antaranya pasal 2, pasal 4, pasal 18, pasal, 26, dan pasal 27.
Dengan mencermati komentar umum 23 mengenai hak-hak minoritas itulah, terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan bahwa:
1. Kelompok minoritas memiliki hak untuk mengembangkan, menikmati, dan memberdayagunakan seluruh kekayaan kultur, tradisi, dan bahasa mereka sesuai dengan kearifan lokal yang mereka miliki sebagai ‘ruang perkembangan kebudayaan’.
2. Kelompok minoritas yang hidup dalam lingkup territorial mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak hadirnya misi-misi dari pihak luar yang ingin mengambil atau memberi manfaat dalam bentuk apa pun dari atau terhadap kehidupan mereka.
3. Di dalam hubungannya dengan peradilan, kelompok minoritas juga berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan peradilan, serta berhak memperoleh fasilitas (penerjemah, pengacara, dan lain-lain) yang mendukung berjalannya proses hukum dan peradilan yang berlangsung.
4. Kelompok minoritas juga memiliki hak untuk diakui berbagai bentuk tata cara lokal yang berkaitan dengan peradilan adat, pendidikan (menurut) tradisi, dan pengembangan sumber daya alamnya.
5. Berbagai bentuk ketersediaan fasilitas umum oleh Negara, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan yang diperuntukkan bagi kelompok minoritas dilakukan melalui komunikasi yang setara dan tanpa pemaksaan antara berbagai pihak yang terkait, dalam hal ini adalah antara kelompok minoritas dengan negara.
6. Dalam hubungannya dengan wilayah politik, kelompok minoritas juga memiliki hak perwakilan.
Dari gambaran berbagai persoalan yang melingkupi kehidupan kelompok minoritas di Indonesia, bisa dikatakan bahwa silang-sengkarutnya pencarian definisi, batasan, dan kategori minoritas itu bukan hanya terletak pada kompleksitasnya masing-masing komunitas, tetapi juga terdapatnya instrumen kebijakan yang secara substansial belum menjamin proteksi yang kuat terhadap kehidupan kelompok komunitas. Mungkin, batasan minoritas sebagai kelompok yang memiliki ciri khas tertentu berdasarkan tradisi, agama, dan bahasa bisa diperluas kembali kepada bentuk kelompok minoritas yang lain, seperti kelompok minoritas berdasarkan seksualitasnya (seperti homoseks dan lesbian), kelompok penyandang cacat, kelompok kebatinan, komunitas kesenian, dan lain sebagainya.
1 Lihat tulisan Dr Joshua Castellino dan Deirdre O’Leary, “Some Definitions of “Minorities” dalam www.minority-rights.org/docs/mn_defs.htm.
2 Hikmat Budiman, ‘Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas’ dalam Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia, (Jakarta: the Interseksi Foundation-TiFA, 2005), h. 10-11

dikutip dari : http://www.desantara.org/page/information/essay-articles/2254/Hak-Minoritas-di-Indonesia 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More